MAKALAH HADIST
“HADIST TENTANG ANAK”
DISUSUN OLEH :
Nurul Laela Zahra (32.17.037)
PRODI PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA
1. Anak Lahir Atas
Dasar Fitrah
Hadits shohih bukhari no. 1296
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ؟"
Telah menceritakan kepada kami Adam telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dza'bi dari Az Zuhriy dari Abu Salamah bin
'Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan
menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang
ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat
ada cacat padanya?"
Mufradat (Kosa Kata)
مَوْلُودٍ =
kelahiran
يُولَد = anak
الْبَهِيمَةِ =
binatang ternak
جَدْعَاء =
cacat
Dalam perspektif pendidikan islam, fitrah
manusia di maknai dengan sejumlah potensi yang menyangkut kekuatan-kekuatan
manusia. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan hidup (upaya mempertahankan dan
melestarikan hidupnya), kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual
(agama). Ketiga kekuatan bersifat dinamis dan terkait secara integral.
Konsep fitrah, menurut Islam juga berbeda dengan teori konvergensi
oleh William Stern. Dalam pandangan Islam perkembangan potensi manusia itu bukan
semata-mata di pengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan
melalui pendekatan kuantitas sejauh mana peranan keduanya (potensi dan
lingkungan) dalam membentuk kepribadian manusia.
Mendidik anak dengan cara memberikan
kebebasan kepada anak didik sesuai dengan kebutuhan. Tindakan ini dilakukan berkat
adanya sabda Nabi Muhammad Saw:
ما من مو لو د الا يو لد عل الفطرت
Artinya: Tidak seorangpun yang dilahirkan
kecuali menurut fitrahnya.
Pemberian kebebasan ini tentunya tidak
mutlak, melainkan dalam batas-batas tertentu sesuai dengan kebutuhan, sebab
anak adalah objek yang masih dalam proses penyembuhan dan belum memiliki
kepribadian yang kuat. Ia belum dapat memilih sendiri terhadap masalah yang
dihadapi. Karena itu ia memerlukan petunjuk guna memilih alternatif dari
beberapa alternatif yang ada.
Jadi, anak yang lahir pasti dalam keadaan suci dan
mereka sudah membawa fitrah masing – masing. Fitah adalah sesuatu
yang ada dalam jiwa seseorang dan memerlukan proses pendidikan untuk
mengembangkan fitrah tersebut. Fitrah ini mencakup fitrah keberagamaan,
kemampuan, Qada’ dan Qadar anak. Mendidik anak dengan cara memberikan
kebebasan kepada anak didik sesuai dengan kebutuhannya.
Asbabul wurud
1480- حدثنا
أبو الحسن أحمد بن قاسم الشبي قال حدثنا إسحاق ابن إبراهيم الدبري قال حدثنا عبد
الرزاق عن معمر عن من سمع الحسن يحدث عن الأسود بن سريع قال بعث النبي سرية فأفضى
بهم القتل إلى الذرية فقال لهم النبي ما حملكم على قتل الذرية قالوا يا رسول الله
أليسوا أولاد المشركين قال أوليس خياركم أولاد.
Artinya: Dari Aswad : “Aku mendatangi Rasulullah dan aku ikut
perang bersamanya. Kami memperoleh kemenangan namun pada hari itu orang-orang
terus saling berbunuhan sehingga merekapun membunuh anak-anak. Hal itu
disampaikan kepada Rasulullah, maka Rasululah bersabda: “ Keterlaluan, sampai hari ini mereka masih
saling membunuh sehingga banyak anak-anak terbunuh” berkatalah seorang anak
laki-laki:” ya Rosulullah mereka adalah anak-anak musyrik” kata Rosulullah: “ Ketahuilah, sesungguhnya penopang kamu
adalah anak-anak orang musyrikin itu. Jangan membunuh keturunan, jangan
membunuh keturunan” .
Keterangan
Maka manakala bayi itu di biarkan pada keadaan dan tabiatnya,
tidak ada pengaruh luar yang mempengaruhinya berupa pendidikan yang merusak
atau taklid kepada kedua orang tuanya dan yang selainnya niscaya bayi tersebut
kelak akan melihat petunjuk kearah tauhid dan kebenaran Rasul dan hal ini merupakan
gambaran atau nalar yang baik yang akan menyampaikannya kearah petunjuk dan
kebenaran sesuai dengan petunjuk yang asli dan dia kelak tidak akan memilih
kecuali memilah-milah (agama, ajaran) yang hanif
2. Hal-Hal yang
Dilakukan Terhadap Anak yang Baru Lahir
Pertama, Memohon keberkahan untuk si anak.
وُلِدَ لِي غُلاَمٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَدَفَعَهُ إِلَيَّ.
“Ketika
anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau memberi nama bayiku, Ibrahim dan men-tahnik dengan kurma
lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku.” (HR.
Bukhari 5467 dan Muslim 2145).
Kedua, Tahnik
Hal ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada putra Asma bintu Abu Bakr, yang bernama
Abdullah bin Zubair. Sesampainya Asma hijrah di Madinah, beliau
melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair. Bayi inipun dibawa ke hadapan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asma mengatakan,
ثُمَّ دَعَا بِتَمْرَةٍ فَمَضَغَهَا، ثُمَّ تَفَلَ فِي فِيهِ،
فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ دَخَلَ جَوْفَهُ رِيقُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ دَعَا لَهُ، وَبَرَّكَ عَلَيْهِ
“..Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam minta kurma, lalu beliau mengunyahnya dan
meletakkannya di mulut si bayi. Makanan pertama yang masuk ke perut si bayi
adalah ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
beliau mendoakannya dan dan memohon keberkahan untuknya.” (HR. Bukhari 3909).
Tahnik dilakukan dengan cara orang tua terlebih
dahulu mengunyah kurma hingga lembut, lalu mengambilnya dengan jari dan
melolohkannya ke mulut bayi dan menggosok-gosokkannya ke kanan ke kiri hingga
merata. Hikmah dari tahnik adalah adalah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut, lidah, tenggorokan dan dua
tulang rahang bawah, sehingga anak siap untuk menghisap air susu ibunya dengan
kuat dan alami.
Dalam sudut pandang medis, tahnik merupakan imunisasi alami. Ketika
dikunyah oleh orang tuanya, maka kurma akan bercampur dengan air liur
yang padanya terdapat kandungan kuman. Ketika ditahnikkan ke bayi,
maka mekanisme alami dalam tubuh bayi akan mengenali kuman-kuman tersebut dan
kemudian membentuk antibodi yang bermanfaat di kemudian hari.
Ketiga, Mengumandangkan Azan dan Iqomah
Hadits mengadzani bayi setelah lahir memiliki 3 jalur
periwayatan utama.
Riwayat jalur pertama:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ
الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Dari Ubaidillah bin Abi Rofi’
dari ayahnya beliau berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu alaihi
wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali ketika dilahirkan Fathimah, dengan
(adzan) sholat (H.R Ahmad, atTirmidzi, dan lainnya).
Jalur riwayat ini memiliki perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah.
Dia adalah perawi yang lemah menurut para Ulama. Abu Zur’ah dan Abu Hatim
menyatakan dia adalah munkarul hadits. Sufyan bin Uyainah menyatakan: para
syaikh menghindari hadits dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Namun, Syu’bah bin
al-Hajjaj meriwayatkan hadits darinya. Syu’bah bin al-Hajjaj dikenal sebagai
seorang yang sangat selektif dalam mengambil periwayatan hadits. Al-Imam Malik
heran dengan sikap Syu’bah bin al-Hajjaj yang mengambil periwayatan dari ‘Ashim
bin Ubaidillah padahal dia adalah perawi yang lemah. Ibnu Hibban menyatakan
bahwa ia lemah karena lemahnya hafalannya sehingga banyak salah. Ibnu ‘Adi
menyatakan bahwa ia meski lemah, namun haditsnya ditulis (untuk dicari jalur
penguat lainnya, pent). Al-‘Ijliy menyatakan bahwa ia tidak mengapa. Dimaklumi
bahwa al-‘Ijliy termasuk Ulama yang bermudah-mudahan dalam penilaian terhadap
perawi.
Riwayat jalur kedua:
عَنْ حُسَيْنٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ
فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Dari Husain beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi
wasallam bersabda: Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang anak, kemudian
dia mengadzani di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri, maka tidak akan
memudhorotkannya Ummus Shibyaan (Jin yang mengikutinya atau hembusan angin). (H.R Abu Ya’la)
Di dalam sanad riwayat ini terdapat perawi yang bernama Marwan
bin Salim al-Ghiffary yang dinyatakan matruk (ditinggalkan) oleh al-Haytsamiy
dalam Majmauz Zawaaid. Ibnu Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim
tentang Marwan bin Salim al-Ghiffariy ini. Abu Hatim menyatakan: munkarul
hadits jiddan, dhaiful hadits. Maka Ibnu Abi Hatim bertanya: Apakah haditsnya
ditinggalkan? Abu Hatim menyatakan : Tidak. Tapi haditsnya ditulis (sebagai
pertimbangan jika ada jalur penguat lain, pent)(al-Jarh wat Ta’diil (8/275)).
Riwayat jalur ketiga:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ فَأَذَّنَ
فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari
kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri (H.R
al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman dan beliau menyatakan bahwa sanad hadits ini
lemah)
Jalur periwayatan ini memiliki perawi yang bernama Muhammad bin
Yunus al-Kudaimiy. Ibnu Hibban menyatakannya sebagai pemalsu hadits. Demikian
juga Abu Dawud mengkategorikannya sebagai pendusta. Sedangkan Ahmad bin Hanbal
menyatakan bahwa dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy adalah dikenal baik dan
haditsnya baik. Tidaklah didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat
dengan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy (Tahdziibut Tahdziib karya al-Hafidz Ibn
Hajar (9/476)). Sedangkan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy dikenal sebagai pendusta.
Ketiga jalur periwayatan di atas masing-masingnya lemah. Namun
yang menjadi perbedaan pendapat para Ulama adalah : bisakah ketiga jalur itu
saling menguatkan sehingga paling tidak sampai derajat hasan? Syaikh al-Albaniy
awalnya menghasankan hadits itu dalam Sunan atTirmidzi, namun setelah beliau
mengkaji ulang beliau menilai bahwa riwayat Abu Rofi’ (jalur riwayat pertama)
tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain karena perawi-perawi yang pendusta.
Beliau kemudian melemahkannya dalam Silsilah ad-Dhaifah. Syaikh Abdul Muhsin
al-Abbad sepertinya cenderung pada pendapat Syaikh al-Albany yang terakhir ini
dalam syarh Sunan Abi Dawud.
Sedangkan sebagian Ulama’ menyatakan bahwa adzan di telinga
kanan bayi yang baru lahir bisa diamalkan. Jalur – jalur periwayatan yang ada
bisa menguatkan.
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya: atTirmidzi,
al-Hakim, anNawawiy, Ibnu Qudamah, Ibnul Qoyyim, al-Mubarokfuriy penulis
Tuhfatul Ahwadzi, asy-Syaukaaniy dalam Tuhfatudz Dzaakiriin, Syaikh Muhammad
bin Ibrohim (mufti Saudi terdahulu), Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz bin ‘Aqiil,
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz arRaajihiy.
Sepertinya pendapat para Ulama ini adalah pendapat yang rajih,
karena memang jalur-jalur periwayatan tersebut bisa menguatkan. Jalur riwayat
pertama lemah, karena adanya perawi yg lemah hafalannya. Namun diharapkan bisa
dikuatkan dgn jalur riwayat kedua. Perawi Marwan bin Saalim al-Ghiffariy masuk
kategori perawi yg bisa ditulis haditsnya sambil dicari jalur penguat lain,
menurut Abu Hatim. Sedangkan jalur periwayatan yg ketiga jika kita membaca
penjelasan al-Hafidz Ibn Hajar dlm Tahdziibut Tahdziib, maka bisa jadi kita
akan berkesimpulan bahwa al-Kudaimiy bukanlah pendusta secara mutlak.
Belum lagi jika kita melihat adanya riwayat perbuatan seorang
Tabi’i yg mulya yaitu Umar bin Abdil Aziz dalam riwayat Abdurrozzaq.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam salah satu fatwanya
berpendapat bahwa adzan di telinga bayi adalah sunnah, sedangkan iqomat tidak.
Beliau menyatakan:
الأذان عند ولادة المولود سنة وأما الإقامة فحديثها ضعيف فليست
بسنة ولكن هذا الأذان يكون أول ما يسمع المولود وأما إذا فات وقت الولادة فهي سنة
فات محلها فلا تقضى
Adzan ketika kelahiran anak
adalah sunnah sedangkan iqomat haditsnya lemah, bukan sunnah. Akan tetapi adzan
ini
adalah pertama kali yang didengar oleh anak yang dilahirkan. Adapun jika
terlewat waktu kelahirannya, sunnah tersebut tidaklah diqodho’ (diganti di
waktu lain) (Fataawa Nuurun Alad Darb (228/9)).
Keempat, Mencukur Rambut.
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ
عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap
anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya,
digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An
Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5: 12. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Dari ‘Ali bin Abu Thalib ia
berkata,
عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- عَنِ الْحَسَنِ بِشَاةٍ وَقَالَ « يَا فَاطِمَةُ احْلِقِى رَأْسَهُ
وَتَصَدَّقِى بِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً ». قَالَ فَوَزَنَتْهُ فَكَانَ وَزْنُهُ
دِرْهَمًا أَوْ بَعْضَ دِرْهَمٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mengakikahi Hasan dengan seekor kambing.” Kemudian beliau bersabda, “Wahai
Fatimah, gundullah rambutnya lalu sedekahkanlah perak seberat rambutnya.” Ali
berkata, “Aku kemudian menimbang rambutnya, dan beratnya sekadar uang satu
dirham atau sebagiannya.”(HR. Tirmidzi no. 1519). Abu Isa berkata; “Hadits ini
derajatnya hasan gharib dan sanadnya tidak bersambung. Dan Abu Ja’far Muhammad
bin Ali bin Al Husain belum pernah bertemu dengan Ali bin Abu Thalib.” Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini telah di-washol-kan/disambungkan oleh Al
Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ 1175)
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah menggundul rambut
kepala bayi perempuan.
Ulama Malikiyyah dan Syafi’iyah tidak membedakan antara bayi
laki-laki maupun bayi perempuan. Sebagaimana disebutkan dari Muhammad bin ‘Ali
bin Al Husain bahwa Fathimah, puteri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menimbang rambut yang telah dicukur
dari rambut Hasan, Husain, Zainab, Ummu Kultsum. Dan Fathimah bersedekah perak
sebanyak berat rambut tadi. Hadits yang membicarakan hal ini disebutkan dalam
Al Muwatho’ (2: 501) dan Abu Daud dalam Al Marosil (kumpulan hadits mursal)
(279, 380), Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro (9: 304). Hadits ini mursal dan
hadits mursal termasuk golongan hadits dho’if (lemah).
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (8: 432) berkata, “Disunnahkan
menggundul rambut kepala bayi pada hari ketujuh. Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa rambut yang telah dicukur dan ditimbang lalu bersedekah dengan emas
seberat rambut yang telah dicukur. Jika tidak, maka dengan perak. Hal ini
berlaku baik bagi bayi laki-laki dan bayi perempuan.”
Di samping itu, ada maslahat ketika mencukur rambut bayi
perempuan, yaitu sedekah dengan perak seberat rambut yang dipotong. Juga rambut
bayi akan menjadi lebih baik setelah digundul ketika kecil. Sebagai tambahan
pula status bayi perempuan yang dicukur rambutnya tidak berarti ia menyerupai
laki-laki karena penyerupaan dengan laki-laki itu dikatakan ada dan terlarang
bukan saat masih bayi.
Ulama Hambali berbeda pendapat dalam hal ini. Mereka menganggap
bahwa menggundul rambut kepala bayi hanya ada pada bayi laki-laki, tidak pada
bayi perempuan. Mereka berdalil dengan hadits berikut bahwa ghulam yang
dimaksud adalah bayi laki-laki.
Kata Syaikh Kholid Mushlih, menantu sekaligus murid senior
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, berkata, “Yang tepat dalam masalah ini,
mencukur rambut bayi perempuan itu boleh jika ada maslahat sebagaimana
disebutkan oleh para ulama yang menyebutkan akan bolehnya gundul bagi bayi
perempuan. Sedangkan ulama yang melarang, maka sanggahannya, bisa jadi kita
katakan haditsnya dho’if (lemah). Kalau hadits yang digunakan shahih, maka bisa
jadi kita katakan bahwa di balik menggundul rambut kepala bayi perempuan ada
maslahat (yaitu menghilangkan gangguan pada rambut sebagaimana disebutkan dalam
hadits).” (Fatwa
Syaikh Kholid Mushlih).
Yang dimaksud bahwa menggundul rambut bertujuan untuk menghilangkan
kotoran disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Salman bin ‘Ami Adh-Dhobbi,
dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ،
فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Pada anak lelaki ada perintah ‘aqiqah, maka
potongkanlah hewan sebagai akikah dan buanglah keburukan darinya.”
(HR. Bukhari no. 5472). Al Hasan Al Bashri mengatakan bahwa “imathotul adza”
(membuang keburukan) dalam hadits ini adalah mencukur rambut bayi. (HR. Abu Daud
no. 2840. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih, namun hanya
maqthu’, yaitu perkataan tabi’in).
Dalam pembahasan ini yang lebih kuat adalah menggundul rambut
kepala bayi perempuan sama dengan laki-laki dengan alasan dalil yang ada bersifat
umum, tidak dikhususkan bagi bayi laki-laki saja sebagaimana halnya aqiqah dan
memberi nama juga berlaku untuk bayi perempuan.
Kelima, Memberi Nama
yang Baik.
Dari Anas bin Malik, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وُلِدَ لِىَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ
فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِى إِبْرَاهِيمَ
“Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama
seperti ayahku yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2315)
Dari Abu Musa, ia mengatakan,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ ، فَأَتَيْتُ
بِهِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ ، فَحَنَّكَهُ
بِتَمْرَةٍ ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ ، وَدَفَعَهُ إِلَىَّ ، وَكَانَ أَكْبَرَ
وَلَدِ أَبِى مُوسَى .
“Anak laki-lakiku lahir, kemudian
aku membawanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau lalu memberinya
nama Ibrahim, beliau menyuapinya dengan kunyahan kurma dan mendoakannya dengan
keberkahan, setelah itu menyerahkannya kepadaku.” Ibrahim adalah anak tertua
Abu Musa.” (HR. Bukhari no. 5467, 6198 dan Muslim no. 2145)
Dari Samurah bin Jundub bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya,
disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama.”
(HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari hadits Abu Musa di atas, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Musa bersegera membawa bayinya yang baru
lahir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
ditahnik setelah diberi nama sebelumnya. Dalil ini menunjukkan bahwa bersegera
dalam pemberian nama pada si buah hati itu lebih baik, dan tidak mesti menunggu
pemberian nama pada hari ketujuh.”
Al Baihaqi mengatakan, “Hadits yang membicarakan pemberian nama
pada si buah hati di hari kelahiran lebih shahih daripada hadits yang
menunjukkan pemberian nama pada hari ketujuh.”
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam
kitabnya Tasmiyatul Mawlud mengatakan,
“Terdapat dalam sunnah Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam bahwa pemberian nama
itu ada tiga waktu:
- Di hari
kelahiran,
- Sampai
hari ketiga dari hari kelahiran,
- Di hari
ketujuh dari kelahiran,
Perbedaan ini adalah perbedaan
variatif dan dalam hal ini ada kelonggaran untuk memilih salah satunya.”
Apa yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid sama halnya dengan
yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
kitabnya Tuhfatul Mawdud. Namun sebagaimana kata Ibnu Hajar di atas,
dalam pemberian nama lebih cepat itu lebih baik yaitu lebih bagus memberi nama
pada hari pertama.
Keenam, Aqiqah.
الله عز وجل العقوق وكأنه
كره الاسم قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إنما نسألك أحدنا يولد له قال من أحب
أن ينسك عن ولده فلينسك عنه عن الغلام شاتان مكافأتان وعن الجارية شاة
Dari ’Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya
tentang aqiqah, maka beliau menjawab : “Allah ‘azza wa jalla tidak suka
dengan istilah Al-‘Uquuq (‘aqiiqah)”. Seakan-akan beliau membenci istilah
tersebut (yaitu aqiqah). Penanya kembali berkata kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Kami hanya bermaksud menanyakan jika salah seorang
di antara kami mempunyai anak (yang baru dilahirkan)”. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallammenjawab : “Barangsiapa yang ingin menyembelih
karena kelahiran anaknya, maka hendaklah ia menyembelih. Untuk laki-laki dua kambing
yang sama/setara dan untuk perempuan satu kambing.
Pengertian Aqiqah
’Aqiqah berasal dari kata ’aqqu (عَقُّ) yang mempunyai arti potong.
Ibnul-Qayyim menukil perkataan Abu ’Ubaid bahwasannya Al-Ashmaa’iy dan
lain-lain berkata :
أن أصلها الشعر الذي يكون
على رأس الصبي حين يولد وإنما سميت الشاة التي تذبح عنه عقيقة لأنه يحلق عنه ذلك
الشعر عند الذبح قال ولهذا قال أميطوا عنه الأذى يعني بذلك الشعر
”Pada asalnya makna ’aqiqah itu adalah rambut bawaan yang ada di kepala
bayi ketika lahir. Hanya saja, istilah ini disebutkan untuk kambing yang
disembelih ketika ’aqiqah karena rambut bayi dicukur ketika kambing tersebut
disembelih. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits : ”Bersihkanlah
dia dari kotoran”. Kotoran yang dimaksud adalah rambut bayi
(yang dicukur ketika itu)
Al-Jauhari mengatakan : ”Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari
ketujuhnya, dan mencukur rambutnya”. Selanjutnya Ibnul-Qayyim
berkata : “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebutkan demikian
karena mengandung dua unsur di atas dan ini lebih utama”.
Oleh karena itu, definisi ’aqiqah secara syar’iy yang paling tepat
adalah binatang yang disembelih karena kelahiran seorang bayi sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Allahta’ala dengan niat dan syarat-syarat
tertentu.
Waktu Pelaksanaan Aqiqah/Nasikah
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
1. Sebagian ulama membolehkan pelaksanaan
sebelum hari ketujuh.
Inilah pendapat jumhur ’ulamaa. Ibnul-Qayyim berkata :
والظاهر أن التقييد بذلك
استحباب وإلا فلو ذبح عنه في الرابع أو الثامن أو العاشر أو ما بعده أجزأت
والاعتبار بالذبح لا بيوم الطبخ والأكل
”Dhahirnya bahwa pengkaitan
waktu penyembelihan hewan ’aqiqah pada hari ketujuh hukumnya adalah istihbaaab (disukai).
Jika tidak dilakukan pada waktu itu, yaitu disembelih pada hari keempat,
kedelapan, kesepuluh, dan seterusnya; maka hal itu mencukupi (sah). Perhitungan
(hari ’aqiqah) itu adalah hari penyembelihan, bukan hari dimana
daging dimasak atau dimakan.
2. Sebagian ulama berpendapat
bahwa ’aqiqah itu dilaksanakan pada hari ketujuh, namun jika tidak dilakukan
(pada hari itu) maka boleh dilakukan pada hari ke-14 (empatbelas) atau ke-21
(duapuluh satu). Mereka berdalil dengan hadits :
العقيقة تذبح لسبع أو أربع
عشرة أو أحد وعشرين
”(Hewan) ’aqiqah itu
disembelih pada hari ketujuh atau empatbelas atau duapuluh satu”.
Namun hadits ini adalah
dla’if.
3. Sebagian ulama berpendapat bahwa
’aqiqah itu boleh dilakukan setelah dewasa (yaitu ia mengaqiqahi dirinya
sendiri) setelah ia mempunyai kemampuan (tidak dibatasi oleh hari-hari
tertentu, walau mereka tetap berpendapat tentang sunnahnya hari ketujuh).
Ibnu Hazm berkata : ”Hewan
disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran dan sama sekali tidak boleh
dilakukan sebelum hari ketujuh. Jika pada hari ketujuh ia belum menyembelih,
maka ia menyembelih setelah itu kapan ia mampu (melaksanakannya) secara wajib”.
Mereka berdalil dengan hadits
:
أن النبي صلى الله عليه وسلم
عق عن نفسه بعد النبوة
”Bahwasannya Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat menjadi
nabi)”.
4. Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa pelaksanaan ’aqiqah hanyalah pada hari ketujuh kelahiran.
كل غلام رهينة بعقيقته تذبح
عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
”Setiap anak tergadai
dengan ’aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, dicukur
(rambutnya), dan diberi nama”.
Di antara pendapat-pendapat yang tersebut di atas, maka yang rajih
adalah pendapat terakhir yang menyatakan bahwa waktu pelaksanaan ‘aqiqah itu
hanyalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Inilah pendapat yang
berkesesuaian dengan dalil shahih. Al-Haafidh berkata :
وقوله يذبح عنه يوم السابع
تمسك به من قال أن العقيق مؤقته باليوم السابع وأن من ذبح قبله لم يقع الموقع
وإنها تفوت بعده وهو قول مالك وقال أيضا أن مات قبل السابع سقطت العقيقة
“Dan perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”disembelih
darinya pada hari ketujuh kelahirannya”; adalah sebagai dalil bagi orang
yang mengatakan bahwa ‘aqiqah itu pelaksanaannya adalah hari ketujuh. Dan
barangsiapa yang menyembelih sebelum waktu itu, berarti ia tidak melaksanakan
sebagaimana seharusnya. Dan bahwasannya ‘aqiqah itu gugur setelah lewat hari
ketujuh. Ini adalah perkataan Malik. Ia (Malik) juga berkata : “Apabila seorang
anak meninggal sebelum hari ketujuh, maka gugurlah syari’at ‘aqiqah tersebut”.
Mufradat (Kosa Kata)
تَمْرَةٍ = Kurma
تُذْبَحُ = Disembelih
يُحْلَقُ = Dicukur
3.
Cobaan tentang anak (LM.
1688)
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ
فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا
فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ
فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا
فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ مَنْ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ كُنَّ
لَهُ سِتْرًا مِنْ النَّارِ
Artinya : Aisyah r.a. berkata: Seorang wanita
datang kepadanya membawa dua putrinya minta-minta, karena aku tidak mempunyai
apa-apa selain sebiji kurma maka aku berikan kepadanya, lalu dibagi diantara
kedua putrinya sedang ia sendiri tidak makan, kemudian ia keluar. Maka masuklah
Nabi saw. dan aku beritahu keadaan wanita peminta-minta itu dengan kedua putrinya,
lalu Nabi saw. bersabda: Siapa yang diuji oleh Allah dengan putri-putri maka
insya Allah kelak akan menjadi dinding baginya dari api neraka. (Bukhari
Muslim).
Mufradat (Kosa Kata)
النَّارِNeraka =
سِتْرًا Dinding
=
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat
penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah
menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi
anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik
dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru
hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah
‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri islam.
DAFTAR PUSTAKA
Tuaskial, Muhammad Abduh . 25 April 2010. Diunduh pada 30 September 2018 pukul 21.40 https://rumaysho.com/988-hadiah-di-hari-lahir-2-nama-terbaik-untuk-si-buah-hati.html
Tuaskial, Muhammad Abduh .
25 April 2010. Diunduh pada 30 September 2018 pukul 21.55 https://rumaysho.com/2238-hadiah-di-hari-lahir-8-menggundul-rambut-kepala-bayi-perempuan.html
Nur Baits, Ammi. 18 Juni
2013 diunduh pada 30 September 2018 pukul 23.45 https://konsultasisyariah.com/18705-doa-untuk-bayi-yang-baru-lahir.html
Widodo, Arik. 05 Juni 2010 diunduh pada 30 September 2018 pukul 22.33 http://widopart.blogspot.com/2014/09/hadits-3-tarbawi-anak-lahir-dalam.html
Widodo, Arik. 05 Juni 2010 diunduh pada 30 September 2018 pukul 22.33 http://widopart.blogspot.com/2014/09/hadits-3-tarbawi-anak-lahir-dalam.html
Al Manhaj. 08 April 2011
diunduh pada 30 September 2018 pukul 23.30 https://almanhaj.or.id/3032-buah-hati-antara-perhiasan-dan-ujian-keimanan.html
Komentar
Posting Komentar